Anggi dan Angga sudah
bersahabat sejak kecil. Mereka bagaikan saudara kembar. Mereka selalu
bersama dimana pun dan kemana pun. Sekarang mereka duduk di kelas IX SMP
Kartini Jakarta Pusat. Seperti biasa Angga selalu menjemput Anggi untuk
pergi sekolah bersama.
Tin…. Tin…. Tin….
Suara klakson motor Angga yang memberikan tanda kepada Anggi untuk segera berangkat.
“Aduh.., Angga sudah jemput, mana aku belum mandi lagi.” Keluh Anggi.
“Anggi cepet, Angga sudah jemput tuh.” Teriak mama Anggi dari dapur.
“Iya ma.” Jawab Anggi sambil berlari ke kamar mandi.
Sekitar 30 menit Angga menunggu akhirnya Anggi keluar juga.
“Maaf ya Ngga aku telat lagi.”
“Iya Nggi. Eh selamat ya!”
“Iya, eh…. Selamt buat apa?” Tanya Anggi kebingungan.
“Selamat
karena kamu telah lebih cepat setengah detik dari rekor kamu sebelumnya
Nggi.” Ledek Angga sambil ketawa. “Ya udah, cepet naik Nggi entar
telat.”
“Ma, kita berangkat dulu ya, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya!”
Lagi-lagi
Anggi lupa mengerjakan PR yang diberikan P. Mustofa. Seperti biasa,
angga selalu mengerjakan PR dobel, satu khusus buat Anggi.
“Kamu udah ngerjakan PR Nggi?” Tanya Angga.
“Aduh… aku lupa Ngga.” Jawab Anggi gelisah.
“Hmmmm….. Ya Allah, hamba mohon hilangkan penyakit sahabat hamba yang satu ini Ya Allah.”
“Huh…. Ngapain sih kamu Ngga? Pakek berdoa kaya gitu segela, ngejek aku ya?” jawab Anggi sambil cemberut.
“He… He… He… aku cuma bercanda kali… Jangan ngambek gitu dong! Nih dah aku kerjakan PRmu.”
“Thanks ya Ngga. Kamu emang sahabat terbaikku.”
Saat istirahat Sheryl dan Sherly bersiap-siap untuk menjaili Anggi dan mencari perhatian Angga.
“Sheryl cepet siap-siap Anggi dah mau keluar tuh.” Perintah Sherly.
Mereka
adalah sudara kembar yang selalu jailin Anggi. Mungkin mereka iri
dengan Anggi yang selalu dekat dengan Angga. Memang sih kedekatan mereka
bikin semua orang iri.
“Satu… Dua… Tiga...” Suara Sheryl dan Sherly berhitung.
Bruk…. Anggi jatuh tersungkur karena dijegal Sheryl.
“Ha…
Ha… Ha…” Tawa kedua cewek centil itu. “Makanya kalau jalan tuh
liat-liat dong.” Kata Sherly sinis. “Eh. Angga mau ke kantin ya?” Tanya
Sheryl kecentilan. Akan tetapi Angga tak menggubris Sheryl. Angga
langsung menolong Anggi dan tetap ceuk kepada Sheryl.
“Huh, lagi-lagi gue dicuekin. Apa sih hebatnya Anggi sampai-sampai Angga gak mau pisah dari dia?” keluh Sheryl dalam hati.
“Kamu gak pa-pa Nggi?” Tanya Angga kawatir.
“Gak pa-pa kok Ngga.”Angga dan Anggi pergi meninggalkan kedua cewek centil itu.
“Nggi, nanti pulang sekolah bisa ikut aku?”
“Kemana?”
“Udah deh ikut aja ya? Please!”
“Em…. Iya deh.”
Pulang sekolah Angga mengajak Anggi jalan-jalan ke taman.
“Gimana Nggi bagus kan tempatnya?”
“Iya Ngga , apa lagi aku kesininya sama kamu!”
Mereka
mengelilingi danau di taman tersebut. Mereka pun duduk di bangku yang
daa di bawah pohon, dan menghadap ke danau. Sungguh tempat yang indah,
namun tak disangka indahnya tempat itu tak seindah persahabatan mereka
yang akan berpisah.
“ Nggi kamu sekarang bahagia kan?” Tanya Angga sambil menatap Anggi tajam, sehingga Anggi grogi.
“Em…. i… i… iya Ngga.” Jawab Anggi terbata-bata.
“Nggi
maafin aku ya. Aku gak bisa nepatin janjiku untuk selalu bersamamu. Aku
akan pergi ke Singapura Nggi. Ini karena papaku akan kerja disana.
Maafin aku ya Nggi!”
Anggi terdiam, tak sepatah kata pun terucap dari bibir Anggi dan tanpa disadari dia meneteskan air mata.
“Tapi tenang aja Nggi, aku akan menghubungi kamu setiap waktu. Jangan nangis dong!” Angga mencoba menghibur.
“Beneran kamu akan menghubungiku setiap waktu?”
“Tapi kamu jangan nangis donk!” kata Angga sambil menghapus air mata Anggi.
1
bulan berlalu perpisahan Angga dan Anggi. Selama itu hubungan mereka
masih baik. Setiap waktu Angga selalu menghubungi Anggi. Walau jarak
mereka jauh, tetapai hubungan mereka selalu dekat. Namun itu semua tidak
bertahan lama.
Mereka sudah berpisah selama dua tahun, dan semua
telah berubah. Kini Anggi sangat sedih, ia selalu mencoba menghubungi
Angga,namun hasilnya nihil. Setiap hari Anggi selalu pergi ke taman,
tempat mereka berpisah dulu. Anggi sangat membenci Angga dan merasa
telah didustai.
Ternyata Angga pergi ke Singapura bukan ikut
papanya kerja tapi karena penyakit yang dideritanya. Angga menderita
kanker darah. Penyakit itu telah lama diderita Angga seja kelas VII.
Namun Angga tidak memberitahukannya kepada Anggi takut ia sedih.
Setelah
sekian lama pengobatan yang dijalani Angga, kesehatannya tidak ada
perubahan ke arah yang lebih baik namun justru memburuk. Angga
memutuskan kembali ke Indonesia karena tak ingin di sisa hidupnya Angga
tidak bisa bertemu Anggi. Kini usia mereka telah 17 tahun. Sehari
sebelum ulang tahun Anggi yang ke-17, Angga telah berada di Indonesia.
Ia sengaja tidak memberitahukan kedatangannya kepada Anggi. Karena telah
kangen banget, Angga langsung ke rumah Anggi.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab mama Anggi sambil membukakan pintu.
“Ini Angga kan?” Angga mengangguk sambil tersenyum. “Ayo masuk jangan sungkan-sungkan!” ajak mama Anggi. “Iya tante.”
“Oh Anggi masih ke rumah Putri, sebentar lagi pasti pulang. Tante tinggal ke belakang dulu ya.”
Di luar Anggi terkejut dengan motor Angga.
“Loh, ini kan motornya Angga. Apa dia di dalam sekarang?” Anggi berlari menuju rumahnya, ternyata dugaan Anggi benar.
"Angga….!”
Kata Anggi terkejut dan menghampiri Angga. Mereka langsung berpelukan.
Tiba-tiba Anggi teringat akan sakit hati dan rasa bencinya kepada Angga.
“Kenapa
kamu 2 tahun terakhir ini tak pernah menghubungiku? Kenapa kamu
berdusta padaku? Kenapa Ngga?” Tanya Anggi sambil tak kuasa menahan
tangisnya.
“Maafin aku Nggi, bukan maksudku untuk begitu tapi…”
“Tapi
apa?” Anggi memotong kata-kata Angga. “Aku kecewa sama kamu Ngga, ku
pikir kamu sahabat terbaikku. Walau jarak diantara kita jauh, aku
berharap hubungan kita akan dekat. Namun itu semua hanya harapan. Kini
aku kecewa dan benci sama kamu Ngga.”
“Maafin aku Nggi!”
“Gak
ada kata maaf bagimu saat ini. Kamu telah mendustaiku. Kamu gak tau kan
gimana perasaanku ketika kamu pergi? Sakit Ngga! Sakit hatiku ketika
kamu pergi, ketika kamu gak pernah menghubungiku. Kamu gak tahu kan?
Karena kamu gak tulus menjadi sahabatku!” Anggi semakin kalap dan tak
bisa menahan emosinya kepada Angga.
“Baiklah Nggi, kalau memang
kamu berfikir aku seperti itu, aku terima. Walau sebenarnya hatiku sakit
mendengar ucapanmu itu.” Angga berteriak kepada Anggi sambil menangis.
“Mungkin saat ini kamu tak bisa menerima kedatanganku setelah apa yang
sudah berlalu. Aku hanya ingin kamu memafkanku Nggi. Hanya karta maafmu
yang bisa membuat hatiku bahagia.” Angga pergi dan tak dapat menahan
derai air matanya.
Anggi menyesal dengan semua yang telah ia katakan kepada Angga.
“Ma,
apa yang barusan Anggi lakukan pada Angga? Mengapa Anggi bisa seperti
itu?” Ungkap Anggi sambil bersandar di bahu mamanya dan tak kuasa
menahan derai air matanya.
“Sudah Nggi kamu jangan seperti ini.”
“Lalu
aku harus bagaimana ma? Anggi sudah bikin Angga sakit hati. Anggi
menyesal ma. Kini Anggi telah kehilangan sahabat terbaik dalam kehidapan
Anggi ma.”
“Udah sayang kamu jangan seperti ini terus. Lebih baik kamu tenangin diri, lalu kamu temui Angga dan meminta maaf padanya.”
Keesokan harinya, perasaan Anggi sudah tenang. Ia memutuskan untuk pergi kerumah Angga. Saat akan pergi telepon bordering.
Kring…. Kring…. Kring…
“Halo, Assalamu’alaikum”
“Wa’alikumsalam. Ini Anggi?”
“Maaf ini siapa ya?”
“Ini tante Maya.”
“Oh, ada apa tante?”
“Anggi yang sabar!”
“Maksud tante?”
“Angga….”
“Angga kenapa tante?”
“Angga telah pergi meninggalkan kita untuk selamanya.”
Anggi
terkejut dengan ucapan tante Maya. Badan Anggi terasa lemas, Anggi tak
kuasa untuk menopang dirinya sendiri dan jatuh pingsan. Mama Anggi
kebingungan melihat putrinya pingsan. Ketika Anggi sadar perasaan
mamanya menjadi lega. Namun Anggi memeluk mamanya sambil menangis.
“Ma, Angga ma!”
“ Kenapa sayang?”
“Angga meninggal ma.”
“Innalillahi wainna ilaihi rozi’un. Ayo cepat kita kesana!”
Anggi hanya terdiam dan terus menangis.
“Anggi kenapa?” Tanya mamanya kawatir.
“Badan Anggi lemas ma, Anggi gak kuat untuk berdiri.”
“Sabar ya sayang, mama cariin kursi roda nenek di gudang.”
Setiba
di rumah Angga, Anggi kembali pingsan ketika melihat jenazah Angga.
Untung hanya sebentar. Ketika Anggi memandang wajah Angga untuk yang
terakhir, dadanya terasa sesak dan ia tak menyadari bahwa air matanya
telah membasahi pipinya. Anggi tak menyangka bahwa perpisahannya dengan
Angga sungguh menyedihkan. Mereka berpisah dalam keadaan emosi. Anggi
semakin merasa bersalah karena membentak Angga pada pertemuannya yang
terakhir.
“Angga maafin Anggi karena telah menyakiti hatimu. Anggi
gak bermaksud seperti itu. Anggi hanya emosi.” Anggi berkata dalam
hatinya.
Ketika jenazah Angga dimasukkan kedalam liang lahat, Anggi tak bisa menahan tangisnya dan terus memanggil nama Angga.
Setelah
pemakaman, Anggi meminta tolong pada mamanya untuk mengantar ke taman
tengah kota dimana merupakan tempat perpisahan mereka sewaktu SMP.
Tiba-tiba tante Maya datang membawa sebuah kotak berwarna merah.
“Anggi, tante mohon kamu bisa menerima semua kenyataan ini dan mengikhlaskan kepergian Angga.”
“Anggi akan berusaha tante!”
“Terimakasih Anggi karena kamu Angga tetap semangat untuk hidup dan ini ada titipan dari Angga.”
Tante
Maya menceritakan semua yang terjadi kepada Angga selama ini. Kini
Anggi mengerti mengapa Angga tak pernah menghubunginya ketika Angga
pergi. Anggi sadar selama ini dia salah menilai Angga. Lalu tante Maya
pergi dan Anggi membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat secarik
surat dan sebuah boneka beruang.
Dear beruang kecilku, Anggi
Anggi
aku minta maaf karena membuatmu marah, sakit hati dan membenciku.
Karena aku telah membohongimu dan telah menghianati persahabatan kita.
Jujur tak ada niatan di hatiku untuk melakukan semua itu. Namun keadaan
yang membuatku melakukan semua itu. Sebenarnya aku pergi ke Singapura
karena penyakitku. Aku tak mau kamu tahu tentang penyakitku ini karena
aku takut membuatmu sedih. Aku tak menghubungimu karena tubuhku tak kuat
untuk memegang hp. Jangankan untuk itu, untuk bergerak pun aku tak
mampu. Ini semua karena pengaruh obat-obatan yang ada di tubuhku. Namun
karena dirimu aku berjuang untuk hidup, agar aku dapat melihatmu
tersenyum.
Anggi, aku disini tak kuasa menahan air mataku karena
sedih melihatmu begitu membenciku dan karena kamu bilang aku tak tulus
menjadi sahabatmu. Sungguh aku benar-benar tulus menjadi sahabatmu. Aku
juga tahu bagaimana perasaanmu ketika aku mencampakkanmu. Aku juga sedih
karena aku harus membohongimu.
Anggi, kini usiamu genap 17 tahun.
Aku berharap kamu akan mandapatkan sahabat yang lebih baik dariku yang
tak akan membahongimu, menghianatimu dan tak kan meninggalkanmu.
Maafkan aku Anggi karena aku tak bisa menjadi sahabat terbaikmu. Tapi kamu sahabat terbaik dalam kehidupanku.
Tertanda
Pemohon maafmu, Angga
Setelah
membaca surat itu Anggi semakin merasa bersalah. Karana ia belum sempat
minta maaf kepada Angga atas semua yang telah ia lakukan.
Untuk menebus semua kesalahannya Anggi rajin beribadah dan selalu mendoakan Angga agar Angga bahagia di alam sana.
Semenjak
kejadian itu kini Anggi sangat membenci hari ulang tahunnya, karena
pada ulang tahunnya yang ke-17 ia harus kehilangan sahabat terbaiknya.
Kejadian itu menjadi kenangan pahit yang tak terlupakan oleh Anggi.